DUTAMEDAN.COM – Praktik kerja lapangan (PKL) adalah bentuk pelatihan pendidikan kejuruan yang dilakukan mahasiswa dengan bekerja secara langsung di lapangan usaha yang relevan dengan kompetensi pendidikannya. PKL dilakukan secara sistematik dan terarah serta didampingi oleh supervisi yang berkompeten. Dengan melakukan PKL, mahasiswa diharapkan dapat mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari hingga bisa mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu, baik dalam segi pengetahuan, keterampilan, maupun etos kerja.
Dengan begitu, mahasiswa akan memiliki modal keahlian profesional sebelum ia lulus dari pendidikan dan dapat bekerja dengan baik di dunia pekerjaan.
PKL ini dilakukan oleh Prima Sihombing selaku mahasiswa Kesejahteraan FISIP USU dengan NIM 200902068, guna memenuhi mata kuliah PKl 2 di semester 7 dengan supervisi Ibu Berlianti, M.SP. PKL dilaksanakan di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Cinta Kasih yang beralamat di Jl. Sei Brantas No. 70, Barbura, Medan Sunggal, Kota Medan.
Anak-anak di LKSA Cinta Kasih berjumlah 42 orang, dengan 26 orang anak laki-laki dan 16 orang anak perempuan, dan ada 5 orang pengurus dimana 1 orang ibu pengurus, 1 orang ayah pengurus, dan 3 orang kakak pengurus. Program yang dilakukan dalam PKL ini adalah “Edukasi Bentuk Kekerasan Kepada Anak di LKSA Cinta Kasih”.
Praktikum ini dilakukan dengan menggunakan metode praktek pekerjaan sosial, yang mana ada 6 (enam) tahapan praktikum, yaitu: Engagement sebagai tahap perkenalan antara mahasiswa dengan anak di LKSA dan tahapan ini dilakukan di minggu awal praktikum.
Pada tahap ini mahasiswa mulai mengenal anak di LKSA dan melakukan observasi awal mengenai keadaan di LKSA;Asesmen adalah tahap identifikasi masalah dan potensi anak di LKSA, yaitu mahasiswa melakukan pengamatan terhadap masalah yang ada di LKSA maupun lingkungan sekitarnya, baik melalui observasi langsung maupun wawancara kepada pihak sekolah;Planning (Perencanaan) adalah tahap untuk merencanakan kegiatan selama praktikum berlangsung, tahapan ini harus dilakukan secara bijak dan cermat untuk meminimalisir kemungkinan kegagalan penelitian terjadi;Intervensi adalah tahapan dimana proses pembekalan materi yaitu edukasi kekerasan dimulai dan observasi pemahaman anak di LKSA terhadap materi;Evaluasi adalah tahapan untuk mengamati dampak dari praktikum apakah anak di LKSA dapat dimengerti dan memberi dampak yang diharapkan atau malah sebaliknya; danTerminasi dilakukan di akhir praktikum dengan makna bahwa kegiatan praktikum telah selesai dilakukan.
Praktikum berlangsung selama 3 bulan dengan detail kegiatan 2 minggu tahap engagement, 3 minggu tahap asesmen dan planning, 1 bulan tahap intervensi, dan 2 minggu tahap evaluasi, serta 1 pertemuan sebagai tahap terminasi. Level intervensi pada praktikum ini adalah intervensi mezzo, dimana mahasiswa melakukan praktikum kepada kelompok anak-anak di LKSA Cinta Kasih.
Menurut R. A. Kosnan, anak adalah manusia dalam umur muda yang jiwa dan perjalanan hidupnya sangat mudah terpengaruh oleh keadaan disekitranya. Oleh karena itu, seluruh lapisan masyarakat harus ikut turut aktif dalam menjamin pemenuhan hak-hak dasar anak dan perlindungan anak, salah satunya perlindungan dari kekerasan. Anak-anak Indonesia harus senantia dijaga, sehingga para penerus bangsa ini dapat hidup dan tumbuh berkembang di dunia yang sesuai, yaitu dunia anak-anak, dunia yang dipenuhi dengan kegembiraan, keceriaan, keaktifan, dan kreativitas dari masing-masing anak.
Umumnya, kekerasan terjadi dan ditujukan pada pihak lain yang dianggap lemah, dan anak adalah korban paling rentan untuk keadaan ini. Kekhawatiran ini terbukti dari maraknya kasus kekerasan terhadap anak belakangan ini. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), ada 27,593 anak yang menjadi korban kekerasan pada tahun 2022. Kekerasan terjadi tidak hanya secara fisik, tapi juga psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang, hingga eksploitasi.
Ada banyak kasus kekerasan yang terjadi belakangan ini seperti pemerkosaan anak oleh ayah kandung di Depok, pelecehan seksual di lembaga pendidikan keagamaan, hingga anak meninggal akibat depresi dirundung oleh teman sebayanya di Tasikmalaya. Semua permasalahan kekerasan itu berasal dari lingkungan terdekat anak, dimana seharusnya lingkungan itulah yang memberikan rasa aman terhadap anak, namun pada kenyataannnya malah sebaliknya. Saat ini, kasus kekerasan baik fisik dan psikis terhadap anak semakin banyak terungkap akibat masyarakat mulai berani untuk melapor, baik itu pihak berwajib, media sosial, maupun ke orang disekitarnya.
Jika diamati dengan cermat, dapat disimpulkan bahwa jumlah kasus kekerasan anak selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jenis kelamin perempuan adalah korban kekerasan yang paling banyak, dengan usia 13-17 adalah golongan usia korban terbanyak padahal usia ini adalah usia dimana seorang berada difase remaja yang cenderung rentan dan tidak stabil bahkan WHO mengatakan bahwa kekerasan pada remaja berdampak seumur hidup pada fungsi psikologis dan sosial seorang remaja, dan ada 3 jenis kekerasan yang mendominasi yaitu kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan kekerasan psikis namun kekerasan seksual adalah jenis kekerasan terlapor yang paling banyak.
Akibat dari maraknya kasus kekerasan ini, Komnas Perlindungan Anak menyebut bahwa saat ini Indonesia darurat kekerasan anak karena kekerasan pada anak sudah berada di level tahap yang menghawatirkan. Keadaan ini dipicu oleh semakin kompleksnya jenis kekerasan yang terjadi pada anak. Ia juga mempertanyakan sistem atau mekanisme aparat penegak hukum dalam memproses kasus kekerasan anak selama ini, karena ia merasa bahwa dalam sejumlah kasus, pelaku justru tidak dihukum berat atau tidak diperlakukan selayaknya tersangka, atau proses hukum meninggalkan rasa trauma kepada korban.
Anak jalanan adalah contoh anak yang paling rentan mengalami kekerasan karena kehidupan di jalanan yang penuh dengan resiko dan sangat berbahaya bagi anak-anak. Banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa anak-anak yang berada di jalanan sangat berpotensi mendapatkan kekerasan baik itu dari anak lain yang seusianya atau yang lebih tua, orang dewasa atau preman jalanan, atau dari para petugas seperti satpol PP. Selain kekerasan, anak jalanan juga rentan akan eksploitasi secara ekonomi ataupun seksual oleh orang disekitar mereka. Pada tahap ini, anak jalanan berada di tahap children at high risk sehingga mereka memerlukan perlindungan khusus.
Serupa namun tak sama, anak terlantar juga berpotensi mengalami kekerasan. Menurut UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (6), Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Dalam Permensos RI No. 4 Tahun 2020 tentang Rehabilitasi Sosial Dasar Bagi Anak Terlantar Pasal 4, ada 4 kriteria untuk mengkategorikan anak terlantar yaitu: a) tidak terpenuhinya kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, dan papan; b) tidak ada lagi perseorangan, keluarga dan/atau masyarakat yang mengurus; c) rentan mengalami tindak kekerasan dari lingkungannya; dan/atau d) masih memiliki keluarga tetapi berpotensi mengalami tindak kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, dan penelantaran.
Anak terlantar hampir memiliki situasi yang sama dengan anak jalanan, karena anak terlantar tidak mendapatkan perlindungan dari orang terdekatnya hingga akhirnya sang anak hidup dengan caranya. Anak terlantar terbagi kedalam dua keadaan, pertama anak yang memilih hidup di jalanan dan kedua anak yang tinggal di rumah singgah atau lembaga/yayasan. Jika mendapatkan kekerasan, anak terlantar tidak dapat melindungi diri karena ketiadaan figur orang tua dan mereka yang dituntut mandiri, jikapun lembaga tempat mereka bernaung bisa memberikan perlindungan itu tidak bisa secara intensif karena masih ada anak lain yang harus dijaga dan diurus.
Di Indonesia, perlindungan anak diatur dalam UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 4, setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sejalan dengan itu, UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (12) mengatakan bahwa anak memiliki hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah.
Pada tanggal 15 Juli 2022 seiring dengan Perayaan Hari Anak Nasional 2022, Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) nomor 101 tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (Stranas PKTA). Peraturan ini dibuat untuk melindungi anak dari kekerasan dan diskriminasi, serta merupakan salah satu upaya pencegahan dan penanganan kekerasan dan diskriminasi terhadap anak. Selain itu, pemerintah akhirnya menerbitkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang diatur sedemikan rupa untuk memberikan perlindungan yang komprehensif dan pemenuhan hak korban.
Namun dengan banyaknya peraturan yang telah dibentuk, kekerasan pada anak masih terus terjadi bahkan angkanya mengalami peningkatan setiap tahun. Ini terjadi karena belum optimalnya perlindungan pada anak, dan ada beberapa perlindungan yang memiliki mekanisme yang cukup kompleks seperti perlindungan pada anak korban trafficking atau eksploitasi anak. Selain itu, banyaknya anak-anak yang tidak mendapatkan hak dan kewajibannya dari orang tua, lembaga, maupun pemerintah, sehingga perlindungan anak pun turut terseret masalah.
Maraknya kasus kekerasan pada anak tentu membuat geram banyak pihak. Oleh karena itu, pencegahan-pencegahan harus selalu dilakukan agar kekerasan pada anak dapat diminimalisir atau bahkan menuntaskannya. Dan edukasi kekerasan menjadi salah satu langkah pencegahan yang dapat dilakukan. Oleh karena itu, dalam praktikum ini, mahasiswa memilih melakukan kegiatan edukasi bentuk kekerasan kepada anak-anak di LKSA Cinta Kasih agar mereka dapat melindungi dirinya dari ancaman kekerasan yang akan terjadi dimasa depan.
Edukasi dilakukan dengan cara pemaparan materi kekerasan secara teori dan melakukan praktiknya secara langsung dihadapan anak-anak agar mereka dapat memahami makna yang disampaikan oleh mahasiswa. Setelah pemaparan materi teori dan praktek, mahasiswa menanyakan kembali kepada anak-anak mengenai materi untuk menguji pemahaman mereka. Lalu mahasiswa juga mengaitkan materi dengan pengalaman anak-anak, apakah mereka pernah menerima tindakan kekerasan dari orang lain atau malah mereka yang menjadi pelaku kekerasan. Selama 1 bulan tahapan intervensi, mahasiswa tidak hanya membahas mengenai kekerasan saja, namun juga topik lain, seperti emosi dan perasaan karena topik ini juga memiliki peran dalam hal kekerasan dan remaja, pola hidup sehat karena anak-anak yang tinggal di LKSA minim kesempatan untuk mendapatkan kualitas hidup yang baik sehingga mahasiswa membahas topik ini.
Selain itu, mahasiswa juga melakukan edukasi pencegahan kekerasan seksual melalui lagu, dengan lirik: Sentuhan boleh, sentuhan boleh; Kepala, tangan, kaki; Karena sayang, karena sayang, karena sayang; Sentuhan tidak boleh, sentuhan tidak boleh; Yang tertutup baju dalam; Hanya diriku, hanya diriku; Yang boleh menyentuh.
Edukasi pencegahan kekerasan seksual ini dirasa penting oleh mahasiswa untuk diajarkan kepada anak-anak di LKSA Cinta Kasih agar meningkatkan kesadaran anak-anak bahwa diri mereka itu berharga dan harus dilindungi. Selain itu, edukasi ini juga dilakukan karena kekerasan seksual pada anak adalah jenis kekerasan yang paling banyak terjadi sehingga anak-anak memang sudah sewajarnya mendapatkan edukasi kekerasan seksual sebagai pencegahan. Edukasi melalui kagu dilakukan karena umumnya anak-anak akan lebih cepat mengerti suatu makna dalam kalimat jika dinyanyikan secara langsung. Selain lirik, lagu juga diiringi dengan gerakan yang selaras, agar anak menjadi lebih paham makna dari lirik lagu.
Secara keseluruhan, program pengabdian PKL ini berjalan dengan baik dan lancar, meskipun ada hambatan yang dialami oleh mahasiswa. Dengan diadakannya PKL ini, mahasiswa diberi kesempatan untuk mengembangkan diri dan potensial, serta lebih mengetahui bagaimana keadaan faktual anak-anak yang berada di salah satu LKSA di Kota Medan, yaitu LKSA Cinta Kasih. Mahasiswa identik dikenal sebagai agen perubahan, dan dengan adanya mahasiswa di lapangan seperti ini diharapkan dapat memberikan dampak yang positif dan membawa perubahan bagi keadaan sosial Indonesia.